A. Al-asma’
wa Al-kunya
a. Pengertian
Menjelaskan
nama-nama perawi dengan nama atau julukan atau gelar yang berbeda. Misalnya :
Muhammad ibn al-saib al-kalbi (محمد
بن السائب الكبى) sebagian orang mengetahui mamanya dengan
“Aba al-nadhr” (أبا النضر) dan sebagian yang lain “Hamaad ibn al-saib”(حماد
ابن السائب) dan “Aba Al-said": (أبا سعيد).[1]
b. Faedah/manfaat
Untuk mempermudah
pengenalan terhadap nama para rawi yang masyhur dengan kunyah-nya agar lebih
lanjut dapat diketahui karakteristiknya dan untuk menghindari salah duga karena menganggap seorang rawi adalah dua
orang karena suatu saat ia disebut dengan namanya dan pada saat lain dengan
kunyah-nya, atau kadang-kadang ia disebut dengan nama dan kunyah-nya sekaligus,
sehingga diangap dua orang. Kemungkinan ini terjadi lantaran tiada kata ‘an
tertulis diantara nama dan kunyah-nya itu.
Bidang kajian ini senantiasa digali dan diperhatikan
dnegan seksama oleh ahli ilmu hadits, dihafalkan, dan didiskusikan. Orang yang
tidak mengetahuinya dipandang sebagai orang yang kurang arif. Ibnu al-Shalah
mengklasifikasikan menjadi beberapa, yaitu :
1. Rawi
yang tidak memiliki nama, selain kunyah. Seperti Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-harits
bin Hisyam al-Makhzumi yang oleh sebagian ulama dimasukkan dalam kelompok
fuqaha Madinah yang tujuh. Juga Abu Bilal Al-Asy’ari yang meriwayatkan hadits
dari Syuraik dan lainnya. Diriwayatkan bahwa ia berkata. “saya tidak mempunyai
nama, nama dan kunyah-ku sama”.
2. Rawi
yang tidak dikenal kecuali dnegan kunyah-nya, tanpa diketahui namanya.
Sebagaimana tidak diketahui apakah kunyahnya itu itu adalah namanya atau ia
mempunyai nama lain selain kunyha-nya. Contoh dari kalangan sahabat adalah Abu
Unas dan Abu Muwaihibah. Selain sahabat adalah Abu al-Abyadh yang meriwayatkan
hadits dari Anas bin Malik.
3. Rawi
yang mempunyai dua kunyah atau lebih. Seperti Ibnu Juraij yang berkunyah Abu
Khalid bin Abu al-Walid, Abdullah al-Umari yang berkunyah Abu al-Qasim lalu
diganti dengan Abdurrahman.
4. Rawi
yang diketahui kunyahnya tetapi diperselisihkan namanya. Contoh Abu Hurairah
r.a. namanya dan nama bapaknya diperselisihkan oleh banyak ulama. Ibnu Abdil
Bari berkata bahwa ada sekitar 20 pendapat berbeda tentang nama Abu Hurairah
dan nama bapaknya. Ibnu Ishaq memilih bahwa namanya adalaha Abdurrahman bin
Shakhir. Pendapat ini dinilai sahih oleh Abu Ahmad al-Hakim, dan dotegaskan
oleh Ad-dzahabi dalam al-muqtana.
5. Rawi
yang lebih dikenal dengan namanya, bukan kunyahnya. Diantara orang yang
berkunyah Abu Muhammad misalnya dari kalangan sahabat adalah Thalhah bin
Abdullah at-Taimi, Abdurrahman bin Auf Az-zuhri, al-Hasan bin Ali bin Abi
Tahlib, al-Hasyimi, Tsabit bin Qais bin al-Syimas, Abdullah bin Zaid shahib
al-adzan.[2]
B. Al-Alqab
Al-Muhadditsin
Laqab adalah
suatu julukan yang disebutkan kepada seseorang yang mengesankan pujian atau
cacian. Banyak rawi yang tidak dikenal kecuali dengan laqabnya. Orang yang
tidak mengetahui ilmu ini bisa jadi menganaggap laqab itu sebagai nama atau
menganggap seseorang yang suatu saar disebut dengan namanya, dan pada saat lain disebut dengan laqabnya adalah dua orang yang
berlainan.
Al-Hakim berkata
“ada sekelompok sahabat yang dikenal dengan laqabnya. Mereka sangat banyak
untuk disebut. Diantaranya adalah Dzu Aal-Yadain, Dzu al-Syimalain, Dzu
al-Ghurrah, Dzu al-ashabi, semua ini adalah laqab, disamping itu ada sekelompok
imam dari kalangan tabi’in dan atba’ tabi’in yang mempunyai laqab dan dikenal
dengannya”.
Contoh tentang
laqab muhadditsin :
1. Al-Hafidz
Abdul Ghani bin Sa’id al-Mishri berkata “ ada dua orang yang mulia yang
senantiasa menyandang laqab yang jelek : Muawiyah bin Abdul karim al-dhall (sesat),
mlantaran ia pernah tersesat dijalan di Makkah dan Abdullah bin Muhammad al-dha’if
(lemah), lantaran yang dhaif adalah fisiknya, bukan haditsnya.
2. Ghundar
adalah laqab Muhammad bin Ja’far al-Bashri Abu Bakar. Pemberian laqab tersebut
karena ia banyak membuat gaduh di hadapan Ibnu Juraij, lalu Ibnu Juraij berkata
“uskut ya ghundar”.
3. Bundar
adalah laqab Muhammad bin Masyar al-bashri, guru al-Bukhari dan Muslim. Banyak
orang meriwayatkan hadits darinya, ia dijuluki dmeikian karena banyak menguasai
hadits.
4. Muhayyan
adalah laqab Abu Ja’fat al-hadhrami. Ia
berkata “suatu saat aku bermain bersama anak-anak sehinggan aku berlumuran
lumpur. Tiba-tiba lewat dihadapan kami Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, lalu
berkata “ya muhayyan, ya muhayyan!” telah tiba saatnya kamu datang ke
majelis untuk belajar hadits” setelah beberapa hari berselang ketika aku dibawa
kepadanya ternyata ia telah meninggal.”[3]
Laqab terbagi menjadi dua, pertama, laqab
yang boleh disebutkan karena julukannya tidak dibenci oleh orang berkenaan. Kedua,
laqab yang tidak boleh disebutkan lantaran julukannya dibenci oleh orang
yang berkenaan.
Apabila para muhaddits menyebut temannya dengan
laqab yang dibencinya, itu sebenarnya adalah upaya untuk memperkenalkan atau
membedakannya dengan orang lain, bukan untuk mencela, mengumpat, dan memberi
julukan yang jelek. Seperti al-A’masy (orang yang matanya cacat dan
berair), dan al-A’raj (kakinya pincang).
DAFTAR
PUSTAKA
Itr Nuruddin. 2016. ‘Ulumul Hadits. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Thuhan Mahmud. Taisir Mushtholah
Hadits.
Komentar
Posting Komentar