A.
Latar Belakang
Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa
perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan. Hadits berkedudukan sebagai
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Adanya hadits berfungsi
sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an.
Akan tetapi dari disampaikannya hadits-hadits yang disandarkan pada
Rasulullah SAW tidak semua disetujui oleh semua ummat Islam. Terdapat golongan
yang mengakui akan ketidakbenaran
kehadiran hadits-hadits tersebut. Dengan pemikiran-pemikiran yang membuat kokohnya
pendapat yang tidak mempercayai Sunnah tersebut, golongan-golongan yang
terlibat pun ikut andil untuk mengingkari segala yang sampai pada mereka.
Kalangan ulama ada yang membedakan pengertian sunnah
da hadist, dan ada pula yang menyamakannya. Ulama hadist pada umumnya
menyamakan pengertian kedua istilah itu. Dalam uraian ini, istilah sunnah
disamakan pengertiannya dengan istilah hadist sebagaimana yang dinyatakan oleh
ulama hadis pada umumnya, yakni segala sabda, perbuatan, taqrir, dan sifat
Rosulullah SAW.
Pada zaman Nabi, umat islam sepakat bahwa sunnah
merupakan salah satu sumber ajaran islam disamping Al-Qur’an. Belum atau tidak
ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi ada dari kalangan umat
Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada
masa Khulafa’urrosyidin, dan Bani Umayyah, belum terlihat secara jelas adanya
kalangan umat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Barulah pada masa Abbasyiah, muncul sekelompok kecil umat islam yang menolak
sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Mereka kemudian dikenal sebagai orang-orang
yang berpaham inkar al-sunnah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Adanya Inkar Sunnah?
2.
Bagaimana Argumen-argumen Para Pengingkar Sunnah?
3.
Bagaimana Bukti-bukti Kelemahan Argumen-argumen Para Pengingkar Sunnah?
4. Bagaimana Upaya Pembela Sunnah dalam Melestarikan
Sunnah?
A.
Sejarah Inkar Sunnah
Inkar Sunnah adalah suatu paham yang timbul pada
sebagian minoritas umat islam yang menolak dasar hukum islam baik sunnah
shohih, baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama
baik totalitas mutawattir ataupun ahad atau sebagian saja , tanpa alasan yang
dapat diterima.[2]
Inkar sunnah terdiri dari dua periode, yaitu periode
klasik dan periode modern.
1.
Ingkar Sunnah Klasik
Berdasarkan
fakta sejarah bahwa di zaman Rasulullah SAW tidak ada umat Islam yang menolak
sunnah nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam. Demkian pula di zaman khulafahur al-
Rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah (661 – 750 M) belum ada tampak
secara nyata kelompok yang menginkari sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam
setelah al-Qur`an.[3]
Menurut
Imam Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua atau
awal abad ketiga Hijriyah pada saat pemerintah Bani Abbasiyah (750 – 932 M).
Pada masa ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan
melengkapi diri dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak
eksistensi dan otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang
wajib ditaati dan diamalkan.
Pada
zaman itu, paham yang menginkari sunnah belum dapat diidentifikasi berasal dari
kelompok mana karena Imam Syafi’i tidak menjelaskan namanya akan tetapi ia mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan
berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah yang ditentang Imam Syafi’i dengan
gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia dijuluki Nashir al-Sunnah (pembela sunnah). Karena kesungguhan Imam Syafi’i
memperjuangkan sunnah dengan berbagai argument akhirnya ia berhasil menyadarkan
para penginkar sunnah dan membendung gerakan inkar al-sunnah dalam waktu yang
sangat panjang.
Bahkan
menurut Musthafa ‘Azami paham inkar al- sunnah telah muncul pada masa shahabat.
Ia membuktikan dengan adanya dialog antara shahabat Imran bin Husain dengan
seseorang yang hanya meminta diajarkan al-Qur`an saja. Namun bila dicermati hal ini tidak bisa dikategorikan
dengan inkar al- sunnah tetapi menurut sebahagian ulama bisa dikategorikan
sebagai benih- benih inkar al-sunnah. Kemudian ada lagi dialog Umayyah bin
Khalid dengan Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat yang ditemukan dalam
al- Qur`an hanya di rumah dan waktu perang saja.semenjak itu tidak ada lagi
yang tidak meyakini sunnah sebagai hujjah hingga sebelas abad kemudian.[4]
Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat bahwa
orang-orang yang dihadapi oleh Imam Syafi’i dari kalangan teolog Mu’tazilah
karena diketahui dalam sejarah Basrah saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu
pengetahuan yang menyangkut ilmu kalam. Di
kota inilah berkembang paham dan
tokoh - tokoh Mu’tazilah yang
dikenal aliran rasional dalam
Islam dan banyak mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar
al-sunnah menurut pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.
Abu
Zahrah menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar al-sunnah yang dimotori
oleh Mu’tazilah karena mereka tetap mengakui dan menerima hadits-hadits Rasulullah sebagai sumber hukum
Islam. Tetapi menurut Abu Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah orang-orang
zindik yang lahirnya meyakini Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam.
Dari
keterangan di atas tampaknya yang paling dapat diterima awal munculnya kelompok
inkar al-sunnah berawal dari kelompok kaum zindik bukan dari kelompok
Mu’tazilah karena aliran mereka tetap meyakini dan menerima hadits Rasulullah
sebagai hujjah atau sumber hukum Islam walaupun terkadang meragukan keshahihan
suatu hadits atau menolak hadits yang tidak memenuhi standar penilaian mereka.
Oleh sebab itu meragukan tingkat keshahihan suatu hadits tidak berarti menolak
eksistensi dan otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam.[5]
2.
Ingkar Sunnah Modern
Benih-benih
paham inkar al-sunnah tetap ada walaupun dapat ditaklukan. Hal ini terbukti mereka tetap menyerukan agar menolak
sunnah sebagai sumber hukum Islam. Gerakan
inkar al- sunnah periode abad modern ini muncul pada peralihan abad 19 ke abad
20 M.
Di Mesir (dr.Taufiq Shidqi w.1920) yang menyerukan bahwa
sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an (al Islam huwa al-Qur’an wahdah). Pengikut
setia Taufiq Shidqi adalah Gulam Ahmad Pervez (lahir tahun 1920) di India. Ia
berpendapat bahwa bagaimana pelaksanaan cara shalat terserah pada pemimpin
untuk menentukan secara musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
dan tidak perlu hadits-hadits Nabi untuk itu. Selain itu, Rasyad Khalifa di
Amerika yang menilai bahwa al-Qur'an satu-satunya sumber ajaran Islam dan
berkeyakinan bahwa hadits merupakan buatan iblis yang dibisikkan kepada
Muhammad SAW. Selain itu, Kassim Ahmad
di Malaysia yang menilai bahwa hadits adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan
dengan Rasulullah SAW dan hadits menurutnya merupakan penyebab terjadinya
perpecahan dan kemunduran umat Islam.
Tokoh sesat inkar al-sunah lainnya di Indonesia yaitu
Muhammad Irham Sutarto yang dibantu oleh teman dekatnya Abdurrahman dan Lukman
Saad bahkan menyebar di pulau Jawa, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan
Riau. Khusus di Sumatera Barat yaitu
Dalimi Lubis (lahir di Pasaman 1940).[6]
B.
Argumen-argumen
Para Pengingkar Sunnah
Memang cukup banyak argumen yang telah
dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al-sunnah, baik oleh mereka yang
hidup pada zaman Al-Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dan
berbagai argumen yang banyak jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen
naqli (ayat Al-quran dan hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini, pengelompokkan kepada dua macam argumen tersebut
digunakan.
1.
Argumen-argumen
Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa
ayat-ayat Al-Quran saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi. Memang agak
ironis juga bahwa mereka yang berpaham inkar al-sunnah ternyata telah mengajukan
sunnah sebagai argument membela paham mereka. Cukup banyak juga argumen naqli
yang mereka ajukan, namun yang terpenting ialah sebagai berikut:
a.
QS.
Al-Nahl: ayat 89 yang artinya:. . . Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (AIquran,)
untuk menjelaskan segaia sesuatu. ...
b.
QS.
Al-An’am: ayat 38 yang Artinya:... Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam
Alkitab...
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan
bahwa Al-Quran telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.
Dengan demikian, tidak diperlukan adanya keterangan lain, misalnya dan sunnah.
Menurut mereka, salat lima waktu sehari-semalam yang wajib didirikan dan yang
sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah sunnah atau hadis, melainkan ayat-ayat
Al-Quran, misalnya S. al-Baqarah: 238, Hud: 114, al-Isra’: 78 dan 110, Taha:
130, al-Hajj, 77, al-Nur: 58, dan al-Rum: 17-18.
Dari argumen-argumen yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa
para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen itu adalah orang-orang yang
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Quran
kepada umatnya. Nabi Muhammad hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan
menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya. Di luar hal tersebut, Nabi
Muhammad tidak memiliki wewenang. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang-orang
yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah. Hal itu menurut para
pengingkar sunnah hanyalah berlaku tarkala Rasulullah masih hidup, yakni
tatkala “jabatan” sebagai ulul-amri berada di tangan beliau. Setelah beliau wafat,
maka jabatan ulul-amri berpindah kepada orang lain, dan karenanya, kewajiban
patuh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.[7]
2.
Argumen-argumen
Non-Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non-naqli adalah argumen-argumen
yang tidak berupa ayat Al-Quran dan atau hadits-hadits. Walaupun sebagian dan
argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat Al-Quran
ataupun hadis Nabi, namun karena yang dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan
haditsnya secara khusus, maka argumen-argumen tersebut dimasukkan dalam
argumen-argumen non-naqii juga. Cukup banyak juga argumen-argumen yang termasuk
non-naqli yang telah diajukan oleh para pengingkar sunnah, di antaranya yang terpenting
adalah sebagai berikut:
a.
Al-Quran
diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad(melalui Malaikat Jibril) dalam
bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami
Al-Quran secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dan hadis Nabi. Dengan
demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Alquran.
b.
Dalam
sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat
Islam terpecah-pecah. Perpercahan ini tenjadi karena umat Islam berpegang
kepada hadis Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadis Nabi merupakan sumber
kemunduran umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan
hadis Nabi.
c.
Asal
mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng
semata. Dinyatakan demikian, karena hadis Nabi lahir setelah lama Nabi wafat.
Dalam sejarah, sebagian hadis baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’
al-tabi’in, yakni sekitar empat puluh atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat.
Kitab-kitab hadis yang terkenal,misalnya Shahih al -Bukhari dan Shahih Muslim,
adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadis palsu. Di samping ini,banyak
matan hadis yang termuat dalam berbagai kitab hadis, isinya bertentangan dengan
Al-Quran ataupun logika.
d.
Menurut
dokter Taufiq Sidqi, tiada sam pun hadis Nabi yangdicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadis tcrjadi setelah Nabiwafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis
itu, manusia bcrpeluanguntuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana
yangtelah terjadi.[8]
C. Bukti-bukti Kelemahan Argumen-argumen Para Pengingkar Sunnah
1.
Kelemahan
Argumen-argumen Naqli
Seluruh argumen naqli yang diajukan oleh para pcngingkar sunnah
untuk menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam adalah lemah
sekali. Bukti-bukti kelemahannya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
QS.
An-Nahl ayat 89 yang telah disebutkan pada halaman yang lalu itu sama sekali
tidak memberi petunjuk bahwa sunnah tidak diperlukan. Ayat tersebut sesuai
pernyataan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa:
·
Ayat
Al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, misalnya
kewajiban sholat. Dalam hal ini hadits menerangkan teknik pelaksanaannya.
·
Nabi
menetapkan suatu ketentuan, yang dalam Al-Qur’an ketentuan itu tidak
dikemukakan secara tegas.
·
Allah
mewajibkan para hamba-Nya (yang memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan
ijtihad. Kedudukan kewajiban melakukan ijtihad itu sama dengan kedudukan
kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diperintahkan oleh Allah.
b.
QS.
Al-An’am ayat 38
·
Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan al-kitab dalam ayat tersebut adalah
Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, termuat semua ketentuan agama. Ketentuan itu ada
yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci. Ketentuan yang bersifat
global dijelaskan rinciannya oleh hadist Nabi. Apa yang dijelaskan oleh Nabi
menurut Al-Qur’an wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.
2.
Kelemahan
Argumen-argumen Non-Naqli
Al-Qur’an memang benar tertulis dalam bahasa arab. Dalam bahasa
arab yang digunakan oleh Al-Qur’an, terdapat kata-kata yang bersifat umum da
nada yang bersifat khusus, ada yang berstatus global ada yang berstatus rinci.
Untuk mengetahui bahwa ayat berlaku khusus ataupun rinci, diperlukan petunjuk
Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Memang benar umat Islam dalam sejarah telah mengalami kemunduran.
Salah satu sebab yang menjadikan umat Islam mundur ialah karena umat Islam
mengalami perpecahan. UmatIslam pecah sama sekali bukan disebabkan oleh sikap
mereka yang berpegang kepada hadis.
Berdasarkan bukti sejarah, ternyata periwayatan dan perkembangan
pengetahuan hadis berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Ajaran hadis telah ikut mendorong memajukan umat Islam karena hadis Nabi,
sebagaimana Al-Quran, tclah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk
menuntut pengetahuan. Di samping itu, hadis Nabi, sebagaimana Al-Quran, telah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bersatu dan menjauhi perpecahan.[9]
D.
Upaya
Para Pembela Sunnah dalam Melestarikan Sunnah
1.
Sunnah
Sebagai Salah Satu Sumber Ajaran Islam
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan terdahulu, umat islam
sejak zaman Nabi meyakini bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam
di samping Al-Qur’an. Dasar utamadari keyakinan itu adalah bebagai petunjuk
Al-Qur’an, diantaranya ialah:
a.
QS.
Al-Hasyr Ayat 7 yang artinya: ….dan apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka
hendaklah kamu menerimanya ; dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu
meninggalkannya.”
b.
QS.
An-Nisa ayat 80 yang artinya: Barang siapa yang mematuhi Rasul itu, maka
sungguh orang itu telah mematuhi Allah…”
Menurut ulama, ayat yang dikutip pertama, mengandung petunjuk yang
bersifat umum, yakni bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi
wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.
Ayat yang dikutip kedua, memberi petunjuk bahwa ketaatan kepada
Rosulullah, yakni dengan mengikuti segala sunna beliau itu merupakan bukti
ketaatan kepada Allah.
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut dan yang semakna dengannya,
maka jelaslah bahwa Al-Qur’an dan sunnah Nabi merupakan sumber utama ajaran
Islam. Apabila kesumberan itu harus diberikan angka urut, maka Al-Qur’an
sebagai sumber utama dan sunnah sebagai sumber kedua. Urutan itu disamping
berdasarkan urutan yang dikemukakan Al-Qur’an juga berlandaskan pemikiran
logis, yakni Al-Qur’an merupakan firman Allah dan Sunnah merupakan sesuatu yang
berasal dari utusan Allah.[10]
Kesimpulan
Orang yang berpaham inkar al-sunnah berpijak pada pemahaman
yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sejarah umat Islam, sejarah
perhimpunan sunnah, dan sebagian dari cabang penelitian kesahihan sunnah. Kesalahan
pemahaman itu disebabkan oleh banyak faktor, sebagian dari faktor itu ada yang
berkaitan dengan kekurangan pengetahuan mereka terhadap berbagai hal tentang
sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan sunnah, dan sebagian faktor lagi berkaitan
dengan anggapan dasar dan metode berfikir.
Bagi para penganut paham inkar al-sunnah yang meyakini bahwa
Nabi Muhammad tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk menerangkan petunjuk
Al-Qur’an, tampaknya mereka itu tidak mudah diajak berdialog. Walaupun demikian
tidaklah berarti bahwa berbagai penjelasan yang benar dari para pendukung dan
pembela sunnah sudah tidak diperlukan lagi.
Upaya para pendukung dan pembela sunnah dalam melestarikan sunnah
dapat dikaji ulang melalui karya-karya tulis mereka. Untuk dapat memahami
secara benar tentang berbagai hal yang berkenaan dengan sunnah yang termuat
dalam karya-karya tulis mereka itu, diperlukan sejumlah pengetahuan dasar, baik
yang berkaitan langsung dengan pengetahuan sunnah itu sendiri, maupun yang
tidak berkaitan secara langsung, misalnya pengetahuan bahasa arab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-
Shiba`i, Mustafa.1993.Al- Hadits sebagai Sumber Hukum.(Bandung: Diponegoro).
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam.1994. Ensiklopedi Islam Jild.II.(Jakarta: PT.Ikhtiar
baru Van Houve).
Hakim, Lukmanul.2004.Inkar Sunnah Priode Klasik.(Jakarta: Hayfa
Press).
Ismail, M. Syuhudi.1995.Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar
dan Pemalsunya.(Jakarta: Gema Insani Press).
Khon,
Abdul Majid.2009.Ulumul Hadits.(Jakarta: Sinar Grafika Offset).
Komentar
Posting Komentar